Malam-Malam Kelam (VI)

Post a Comment
Malam-Malam-Kelam


Part satu bisa lihat di sini :D.

Part kedua bisa lihat di sini :D.

Part ketiga bisa lihat di sini :D

Part keempat bisa lihat di sini :D

Part kelima bisa lihat di sini :D

Semoga tidak bosan untuk membaca ya Sobat Sajian Kira :D!

***


Kakek dan nenek tampak membenarkan posisi duduknya yang kini berada di kiri dan kananku. Mereka saling beradu tatap denganku yang penuh kebingungan.

“Jadi, mengapa harus pindah dari rumah itu? Bukankah itu rumah yang aku tempatin sejak kecil, Kek, Nek? Terlebih itu adalah rumah pemberian Kakek dan Nenek ‘kan?” Aku meminta penjelasan dari keduanya yang hanya termangu sejak tadi.

“Kau pernah lihat ada gundukan di belakang rumah? Ah, tepatnya di kebun belakang?” Kakek mencoba meluruskan telisik di pikiranku.

Tiba-tiba saja desau angin malam mulai membuat bulu kudukku berdiri. Beberapa kali aku sedikit menggerakkan tengkuk, mengusapnya pelan dengan jemari. Lantas aku mulai menjawab pertanyaan kakek dengan menggeleng pelan dan lekas membenarkan posisi duduk. Tentu saja aku mulai siap untuk jawaban terburuk dari mereka.

“Kami tahu meski ini pemberitahuan yang telat tapi kami harap pernyataan ini tak menyurutkan rasa rindumu, Nduk.” Nenek menimpali dengan membenarkan posisi duduk dan lipatan jarik cokelat parangnya. Sanggulnya yang bergeming pun tampak disentuh beberapa kali. Mungkin saja pertanda bahwa ia kurang yakin dalam menyampaikan maksudnya kali ini.

“Di belakang rumah, tepatnya bersebelahan dengan kebun buah yang dikelola oleh Pak Joko, tukang kebun yang kalian pekerjakan itu, ada 3 makam besar.”

Nenek berkata dengan nada cukup tenang. Meskipun demikian, aku nyaris tersedak air liurku dan membuyarkan suasana. Aku enggan bertanya lagi, menelisik lebih jauh lagi. Aku membiarkan nenek atau kakek menyelesaikan kalimatnya. Karena takutnya mereka justru tidak berkata jujur dan terkesan melenceng dari fakta kejadian.

“3 makam besar itu terdiri dari makam Kakek dan Nenek. Lalu makam satunya–.”

Nenek enggan melanjutkan, suaranya terseka di pangkal lidah. Aku ingin memasang wajah terkejut, tapi dibanding itu aku memilih memasang wajah penuh tanya. Jawaban yang kuterima saat ini adalah kuburan mereka terletak di belakang rumah dan itulah sebabnya mereka bisa berkeliaran di sekitar rumah, ikut menjaga dari tangan jail seperti Mbak Kun atau mas-mas lain.

“Uhm, perlu kamu ketahui, Nduk. Bahwa alam yang kau tempati saat ini berbeda dengan alam duniawi. Ini adalah alam transisi di mana siapa pun bebas berlalu lalang asal sefrekuensi.”

Lagi-lagi aku hanya bergeming, membiarkan kakek menyelesaikan ucapannya. Meski puluhan tanya di benakku mulai mengembang dan mengusut layaknya benang, tapi aku tetap menunggu mereka menjelaskan.

“Kuntilanak tadi berniat mengambilmu, mengambil nyawamu. Ia menumpang di ruh Nenek yang kurang sigap dalam menghalau keusilannya. Kakek pun juga salah, membiarkan bau-bauan menyan mengelilingi sekitar. Sampai sini kuharap kau perlahan mulai mengerti, Nduk.”

Mataku hampir lepas saat menatap mimik mulut kakek. Rasa-rasanya ada beberapa kalimat penting yang ia utarakan. Meski ia duduk di sebelahku, tapi rasanya sangat jauh. Aku hanya bisa mengamati gerak mulut dan wajahnya.

“Kami telah menghalaunya, menghalau yang lain datang juga. Kami tak ingin kenangan rumah joglo beserta perabotan kesayangan kami ini menjadi rusak akibat ulah mereka yang urakan.”

“Sebentar Kek, Nek, biar aku luruskan. Jadi, rumah ini adalah rumah pugaran dari Kakek dan Nenek. Dari yang sebelumnya rumah joglo luas dengan segala perabotan dan kondisi seperti saat ini. Lalu selang waktu berlalu saat Ayah menikah dengan Ibu dan lahirlah Kak Ibnu serta aku, rumah joglo ini mulai dipugar? Dan foto besar di ruang tamu itu sebagai in memorian kalian. Lalu saat Kakek dan Nenek wafat juga dikuburkan di belakang rumah. Nah, makam ketiga ini punya siapa, Kek, Nek? Apa saudara kita? Atau saudaraku? Ibu kadang enggan bercerita tentang seluk beluk saudara Ayah dan Ibu selain Bibi dan Paman di Jogja serta Brebes itu.” Aku tak sanggup menahan banyak benang kusut di kepala. Setelah memuntahkannya, rasanya sedikit lega meski mereka menatapku dengan tatapan berbeda. Seakaan ada salah dari tiap jengkal kata yang kuucap atau ada sesuatu yang belum lengkap.

“Memang, keluarga kita hanya berasal dari Jogja dan Brebes saja, Nduk. Makanya mereka tak pernah menjelaskan hal lain. Ah ada satu hal yang kau lupa dari simpulanmu tadi. Masalah waktu. Mungkin sudah saatnya kami bercerita karena tak mungkin kami menahan ruhmu terlalu lama di sini.” Kakek mulai menjelaskan dengan gamblang. Namun, aku ingin sekali meminta tolong agar cukup jangan diteruskan. Kepalaku mulai terasa sakit dan denging di telingaku kian menjadi.

Nenek lekas mengambil kendi berisi air bening yang sedari tadi menyempil di samping. Permukaan air itu tampak sedikit bergoyang akibat digeser. Meski kendi itu berwarna cokelat tua dan setinggi lututku, tapi isinya terlihat cukup jelas di mata. Dasar kendinya tampak bersinar terang sehingga terlihat jelas isinya meski permukaan air masih belum tenang

“Arghhh! Cukup, Nek, Kek! Cukup!” Tiba-tiba aku menangkap sesuatu yang memilukan dan terus menjerit histeris menyaksikan air bening itu.

****

-bersambung.

Part ketujuh atau terakhir bisa klik di sini :D


#ChallengeKomunitasODOP #OneDayOnePost


Note : Terima kasih telah menyempatkan membaca hingga akhir. Silakan jika ingin membagi isinya dan mohon disertakan sumbernya.
Sajian Kira
Ashry Kartika | Penulis Lepas di beragam proyek

Related Posts

Post a Comment