Malam-Malam Kelam (II)

Post a Comment
Malam-Malam-Kelam

Part pertama bisa klik di sini :D. Happy reading :D


***

Desiran angin menyeruak di antara ruang-ruang yang sedang kami semayami. Ada suara yang tak bisa kukeluarkan, tercekat di kerongkongan. Akhirnya aku hanya menunjuk-nunjuk tumpukkan beras yang ada di depan mata sembari mengangkat kelima jemariku. Si empunya warung yang sudah bersungut itu mulai melengos, meraih beberapa kantong plastik tebal dan menuangkan lima gayung beras putih.

“Sudah? Tak ada tambahan belanja apa pun lagi, Nak? Bawang merah atau bawang putih? Atau bahkan cabai mungkin?” Ibu–si empunya warung–terus menawarkan bahan dagangan lain kepadaku yang masih saja termangu.

Lalu aku teringat bahwa garam di rumah habis dan langsung menunjuk tumpukan garam putih kemasan tepat di sebelahnya. Ibu itu lantas berceletuk, “Kau mau melakukan ritual, Nak? Banyak sekali beli garamnya.”

Huh, si Ibu ini tidak paham bahwa aku kan suka sekali dengan garam. Lantas aku hanya mengangguk pelan ke arahnya, tak berani menatap lama-lama.

Sepeda motor kuparkir tak jauh dari warung. Sembari berjalan menyusuri trotoar yang mulai ramai lalu lalang karena matahari mulai membayang, pikiranku masih saja berpendar atas kejadian sebelumnya. Apakah para ibu-ibu di warung itu hanya makhluk astral? Kemelut dipikiranku tak mau hilang begitu saja, terlepas dari pernyataan si empunya warung tadi.

Sembari berjalan dengan langkah setengah diseret, mataku melirik ke arah kiri dan kanan lengan yang penuh jinjingan. Tiba-tiba saja pikiranku justru tenggelam dalam bayang-bayang kepergian ayah dan ibu semalam. Bagaimana bisa mereka meninggalkan aku seorang diri di rumah, tanpa beras pula. Apa mereka lupa kalau aku ini gemar makan pantang lapar?

Kualihkan spion merah di sisi kanan demi menampilkan bayanganku di cermin, lalu mengernyitkan dahi. Ah, aku terlalu chubby rupanya, pantas saja. Dengan sedikit menepis cibiran pada diri sendri, aku mulai membenarkan barang belanjaan, melanjutkan memakai helm dan bergegas kembali.

Pukul setengah enam pagi, waktu yang tepat untuk memulai aktivitas sarapan bagiku. Berbekal beras yang kubeli barusan dan beberapa sayur serta lauk yang selalu ada tentunya dalam kemasan frozen yang praktis, sebuah hidangan kini tersaji. Cukup dengan persiapan 30 menit termasuk memasak nasi. Ah, aku memang pemalas tapi ya masa bodohlah. Makan saja dan jangan lupa taburi garam di atas nasi hangat yang nikmat.

Dengan kecepatan seribu tangan, semangku besar nasi hangat beserta ayam katsu dan bola-bola sayuran itu telah lolos ke kerongkonganku. Susu hangat di sebelah kananku pun sukses masuk hingga mengenyangkan perut. Porsi kuli itu mulai memenuhi celah-celah labirin di perut kosongku, mengubahnya menjadi perut buncit seperti gentong berjalan. Jika saja kakakku ada, pasti dia akan mengejek dengan sebutan busung lapar. Ckck.

Suara jam berdenting pelan, membuatku kembali tersadar untuk segera mencuci perkakas dan piring kotor. Hal lumrah yang selalu terjadi di rumah, tak ada piring kotor bahkan baju kotor. Jika saja aku lalai tidak membersihkan pakaian atau baju kotorku, maka ibulah yang akan memarahiku habis-habisan. Parahnya beliau akan memotong jatah makanku. Jika saja hanya jatah jajanku yang boleh dipotong, aku–sangat–tidak masalah. Namun, ini porsi makan, satu hal yang mampu membuat mataku berbinar-binar.

“Huh, Bu Jasmine, anakmu sekarang sudah dewasa. Jangan dimarahi teruslah! Dia sedang cuci piring lho, setelah ini cuci baju dan mandi. Pintar kan dia.” Aku bermonolog sendiri. Namun, hal mengejutkan terjadi kini, suaraku telah kembali!

***

 

*Beberapa menit sebelum kejadian*

Sebaris pakaian setengah basah tampak terpampang dengan rapi di belakang rumah. Matahari mulai meninggi dan membuatku harus bangkit dari matras ungu yang sedari tadi kududuki. Jemariku menekan tombol pause pada layar ponsel yang masih meneriaki dengan suara instruktur yoga. Kini tubuhku telah bermandikan peluh dan bau kurang sedap mulai menggerayangi indra penciuman.

Kuputuskan untuk bergegas membersihkan tubuh setelah menyiapkan beberapa pakaian ganti yang kuambil dari lantai dua. Mandi di lantai satu menjadi jalan pintas agar saat ada yang datang berkunjung, aku bisa segera bergegas membuka pintu, tanpa harus terpleset dari licinnya anak tangga seperti beberapa waktu lalu. Untung saja waktu masih berpihak padaku, mungkin saja dokter hampir memvonis mati suri kala itu. Namun, sialnya karena kejadian itu, beberapa hal di luar nalar dapat tertangkap jelas di kelima indraku. Mungkin itu yang disebut indra keenam.

Kini aroma anyelir mulai menyeruak ke penjuru ruang saat kakiku keluar dari kamar mandi. Rambut basahku masih terlilit kain pengering berwarna cokelat muda. Selesai sudah ritual bersih-bersih pagi ini. Kurebahkan tubuh lelahku pada sederetan sofa berwarna merah marun sembari menekan tombol-tombol berisi angka channel televisi.

Selamat pagi kami hadir dengan Headline News terkini mengenai isu siluman kolor ijo yang meresahkan beberapa daerah di Provinsi Jawa Tengah. Pihak berwajib bersama tokoh setempat sedang mengupayakan langkah terbaik guna mengurangi dampak yang terjadi. Para warga diminta untuk tetap waspada dan berhati-hati. Terutama bagi para–.

Sial, pekikku. Tiba-tiba saja listrik padam dan menghentikan aktivitas lanjutanku, menonton kartun di channel lain. Aku yang masih sebal, tetap di posisi termenung di depan layar televisi, bayanganku pun enggan melepaskan.

Namun, saat aku menatap bayanganku di layar, kembali muncul percakapan para ibu-ibu astral tadi pagi. Apakah yang mereka katakan itu benar? Si penyiar telivisi juga menyatakan hal yang sama. Ah sudahlah, pekikku.

Aku hanya melempar pandang ke hamparan jemuran pakaian dalam di luar rumah. Letak pintu belakang dan kursi sofa yang segaris, memudahkanku untuk mengamati lebih jelas jajaran baju yang baru saja dikeluarkan. Lalu aku menepis bayangan astral tadi, melanjutkan tenggelam pada layar ponsel yang kebetulan ada beberapa pesan masuk dari ibu.

Dek Lila, hari ini sudah melakukan apa saja? Maaf ya, Dek, harus beli beras dulu ke pasar. Ibu lupa mengisi kotak beras. Ini Ibu udah sampai lokasi dinas, doakan presentasinya lancar ya. Ayah mungkin pulang duluan besok pagi. Kakak belum kembali dari naik gunung ya?” ucap ibu melalui pesan singkat di aplikasi. Aku enggan membalasnya dan hanya memasukkan ke kantung celana training.

Dengan langkah setengah di seret, aku menutup semua akses pintu yang ada, menguncinya rapat-rapat. Tak lupa memastikan titik merah di kamera pengintai masih berfungsi dan terhubung pada ups server lantai satu. Beberapa ritual telah selesai kujalani sebelum meninggalkan lantai satu.

Dengan gontai, aku menapaki anak tangga menuju lantai dua. Kamar Kak Ibnu tampak tertutup dan beberapa debu tampak menempel di gagangnya. Yah, mana mungkin abang satu-satunya ini cepat kembali dari aktivitas kecintaannya, naik gunung, heuh!

Kini aku merebahkan tubuh lesu di atas kasur bermotif kartun nightmare, menggeser layar-layar ponsel yang menjemukan. Langit-langit putih jauh lebih menarik perhatianku. Namun, lagi-lagi percakapan itu lah yang terus terbayang. Hingga serbuan angin kencang mendobrak jendela kacaku, dari yang terbuka sedikit kini terbuka penuh lebar, menerbangkan beberapa kertas penelitianku. Terpaksa mengerahkan seluruh tubuhku dengan posisi kuda-kuda, saking kagetnya. Lalu bergegas mengumpulkan kertas-kertas yang berserak. Barulah jendela kaca itu kututup dengan perlahan.

Pergerakan awan yang sedikit lebih cepat daripada biasanya, menelisik pikiranku. Sebelum jendela kaca tertutup sempurna, kepalaku sedikit diangkat melihat kejar-kejaran awan yang bergerombol. Seru rasanya.

Laptop yang layarnya terbuka tampak mengalihkan pandanganku. Di sana menampakkan pantulan bayangan dengan layar hitam tapi tiba-tiba saja sekarang menyala sendiri. Aku terlanjur malas menatapnya. Kumpulan-kumpulan angka dan narasi di sana seperti meracuni otakku. Tunggu sebentarlah, rebahan dulu saja, batinku.

Aku tertidur pulas, tanpa bermimpi apa pun bahkan tidak memimpikan angka-angka atau narasi yang selalu menghantui. Hingga tiba-tiba suara-suara berisik itu muncul. Aku hanya mengacuhkannya. Kupikir itu tetangga sebelah yang anak-anaknya sedang bermain. Tingkat kemaklumanku sangat tinggi, secara para tetangga memiliki keluarga inti dengan banyak personil. Sedangkan aku hanya seorang diri di rumah, tak ayal sih suara mereka menggema, cenderung berisik.

Aku kembali terlelap dalam beberapa menit selanjutnya, hingga lagi-lagi gangguan itu datang bersamaan dengan layar laptopku memunculkan beberapa kotak notifikasi besar. Lalu bunyi nyaring dari ups yang akan habis daya menambah tingkat kejutku. Ah sial, mati lampu siang bolong!

Aku mengerjap, terbangun lagi dengan wajah kusut dan penuh kesal.

Tanpa kusadari, gerombolan kejaran awan tadi seperti mengungkung rumahku. Awan mendung benar-benar mengepung. Jam dinding masih menunjukkan pukul 12 siang, tapi susana tampak suram dan gelap seperti malam akan segera tiba.

Lalu aku baru tersadar bahwa jemuran masih di luar. Sial!

***

-bersambung.

Part ketiga bisa klik di sini :D 

Part keempat bisa klik di sini :D

Part kelima bisa klik di sni :D

Part keenam bisa klik di sini :D

Part ketujuh / end bisa klik di sini :D

Semoga tidak kapok membaca kisahnya, ehe.


#ChallengeKomunitasODOP #OneDayOnePost


Note : Terima kasih telah menyempatkan membaca hingga akhir. Silakan jika ingin membagi isinya dan mohon disertakan sumbernya.
Sajian Kira
Ashry Kartika | Penulis Lepas di beragam proyek

Related Posts

Post a Comment