Malam-Malam Kelam (V)

Post a Comment
Malam-Malam-Kelam

Part satu bisa lihat di sini :D.

Part kedua bisa lihat di sini :D.

Part ketiga bisa lihat di sini :D

Part keempat bisa lihat di sini :D

Semoga tidak bosan untuk membaca ya Sobat Sajian Kira :D!


***

Beberapa iringan lagu gending sayup-sayup mulai merasuki telingaku. Namun, aku tetap berfokus pada pengobatan dari nenek yang kurasa tak ada gunanya. Dengan cukup telaten nenek terus meniupi luka-lukaku. Begitu juga dengan memar yang ada di lutut dan betisku. Saat aku sedikit menunduk, bau daun sirih dan inang yang sangat kencang membuat kepalaku pening seketika. Aku memundurkan badan sedikit, memberi ruang napas dan gerak.

Tiba-tiba suara gending semakin terdengar kencang. Aku terus menoleh ke sumber suara, bahkan kepalaku layaknya kipas angin yang berputar terus tanpa henti akibat dikungkung suara. Nihil. Tidak ada satu pun aku tahu sumber arah suara itu. Lantas aku hanya menutup telinga, mencegahnya agar tidak berdenging terlalu kencang.

“Kenapa, Nok?”

Ha, kali ini ucapan nenek kok berubah nadanya. Cempreng sekali. Aku menatap dengan sedikit menundukkan kepala, mendekat ke posisi nenek yang lebih rendah duduknya.

“Kenapa, Nok? Cari suara gending ya?”

Dan rasanya aku ingin mengumpat saat mengetahui bahwa yang di depanku dan sedang memegang betisku bukan lagi si nenek, melainkan mbak-mbak kun–kunthi–. Kepalaku rasanya mau putus dari tempatnya. Terlebih betisku yang sedang dipeganginya, aku ingin mengamputasinya dan lekas menjauh, pergi sampai siapa pun tak bisa menemukan aku. Hah!

Namun, aku tak bisa apa-apa, tak bisa kemana-mana. Terdiam, menunggu momen kematian selanjutnya. Peluhku kini sebesar jagung-jagung tua dengan wajah yang mungkin pucat pasi. Aku tak berani menggerakkan tubuh seinci pun. Hanya mampu menoleh ke kanan, menjauhi tatapannya dari arah sebelah kiri.

“Nok, sudahlah ikut saja dengan kami. Yuk bergabung dengan yang lain. Nanti aku bantu carikan teman lain ya, biar bisa kita seru-seruan bareng, ngerumpi bareng. Bisa main dandan bareng, masak bareng, dan pastinya kamu nggak kesepian lagi. Aku sering loh merhatiin kamu kalau lagi kesepian. Hanya scroll main ponsel, buka laptop, atau baca-baca komik.”

Kali ini aku putuskan untuk menoleh sambil memejamkan mata, tak lupa bibir kukantupkan dengan erat. Takutnya mereka menciumiku. Dengan posisi miring begini, aku jelas sekali mendengar tiap inci perkataannya bahkan napas busuknya yang sangat-sangat menyiksa. Aku pikir lebih baik bau sirih inang nenek daripada dia.

“Duh, sia-sia banget sih Pak Dukun Kolor Ijo nggak bisa nangkep ke sini. Namun, untungnya aku bisa ya. Nanti kamu aku bawa ya, Nok. Kita turun dari dimensi ini. Kamu cukup dibelakangku, ikuti bau menyan dan suara riang iringan gending.”

Seperti khas sebangsanya yang selalu diakhiri tawa. Aku pikir apa yang lucu dari itu sehingga mereka harus tertawa. Ada rasa gelitik yang tiba-tiba saja menerjangku saat berusaha mengalihkan rasa takut. Perasaan itu terus menjadi hingga aku tak tahan dan mulai menggerakkan tubuh ke sembarang arah tanpa tahu di mana letak Mba Kun itu berada.

Tiba-tiba suara gending mendadak hilang bersamaan hilangnya bau menyan yang berbeda dengan sebelumnya. Lalu seseorang atau sesuatu entah apa itu, menepuk dua pundakku dari depan. Jelas saja aku tak ingin terkecoh dan membuka mata. Bisa saja itu Mba Kun atau Dukun Kolor Ijo.

“Nduk! Ini Kakek. Maafkan Kakek ya, tadi segel ke sini berhasil di loloskan mereka. Kamu aman-aman saja ‘kan Nduk? Atau ada yang hilang, kurang, terluka, bilang saja sama Kakek. Awas aja main-main sama cucu Kakek, nanti aku santet mereka!”

Suara gahar kakek–sosok yang ku-iyakan dan kusebut namanya beberapa wakt lalu sebagai kakek– itu meyakinkanku untuk membuka mata. Benar saja, di depanku tampak kakek sedikit berjongkok, bertahan dengan tongkat kayunya. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan, melihatku dengan seksama. Kini tampak jelas keriput-keriput di wajahnya yang terlihat nyata. Aku ingat pernah melihatnya di figura foto yang sangat besar  tepat di pintu masuk. Karena orang tuaku mengikuti arahan ahli fengshui yang mengatakan bahwa foto orang tua atau leluhur harus lebih besar daripada foto lainnya dan diletakkan paling depan. Meski sampai saat ini aku tak paham maksud si ahli fengshui, tapi aku mengiyakan mungkin saja para leluhur ingin melindungi kami, membantu tangkalan radikal bebas semacam tadi.

Tanpa aba-aba aku langsung memeluk kakek, sosok yang belum pernah aku temui wujud nyatanya karena aku terlahir beberapa saat setelah kematian kakek dan nenek. Meski bukan terasa hangat dan cenderung dingin, aku tetap tak peduli. Saat ini aku hanya peduli bahwa kakek dan nenek lah yang sedari tadi menolongku, menghindarkan dari marabahaya secara langsung. Mungkin mereka datang karena mendengar pintaku pada Tuhan.

Kakek hanya bergeming sembari posisinya masih seperti tadi dan tiba-tiba saja nenek datang, menyembul di antara pelukan kami. Dia berkata bahwa ingin juga dipeluk cucunya meski dalam keadaan dingin tanpa kehangatan. Aku sedikit tersenyum menahan air mata yang akan tumpah sebentar lagi.

“Sudah-sudah. Kamu sudah puaskan bisa memeluk kami. Kami pun sudah senang bisa bertemu cucu cantik kami. Dibanding Ibnu, kamu jauh terlihat lebih kuat lho.” Tangan keriput nenek mencoba menyeka air mataku.

“Namun, Kak Ibnu sering naik gunung, Kek, Nek. Kalau dia tak kuat fisiknya maka dia tak bisa meneruskan finishnya.” Suaraku masih saja sesenggukan.

“Kak Ibnu jarang terlihat di rumah ‘kan? Dia menyimpan penyakitnya sendiri, Nduk. Pernah masuk kamarnya? Banyak botol pil di sana. Kami pikir kamu sudah tahu. Rupanya belum ya. Lalu apa kau juga tak tahu mengapa Ayah dan Ibumu jarang berada di rumah?”

Aku menggeleng sembari menenangkan jantung akibat mendengar ucapan nenek barusan tentang Kak Ibnu.

“Ayah dan Ibumu sedang berusaha keras untuk pindah rumah, Nduk,” celetuk kakek yang posisinya kini duduk di sebelahku.

“Kenapa pindah, Kek, Nek?”

Mereka tak menjawabku. Mengapa mereka hanya saling lepas pandang? Bukankah mereka tadi bertanya padaku. Argh apa lagi ini!

 ***

-besambung.

Part keenam bisa klik di sini :D

Part ketujuh / end bisa klik di sini :D

#ChallengeKomunitasODOP #OneDayOnePost



Note : Terima kasih telah menyempatkan membaca hingga akhir. Silakan jika ingin membagi isinya dan mohon disertakan sumbernya.
Sajian Kira
Ashry Kartika | Penulis Lepas di beragam proyek

Related Posts

Post a Comment