Malam-Malam Kelam (IV)

Post a Comment
Malam-Malam-Kelam

Part satu bisa lihat di sini :D.

Part kedua bisa lihat di sini :D.

Part ketiga bisa lihat di sini :D

Semoga tidak bosan untuk membaca ya Sobar Sajian Kira :D!


***


Tubuhku terkulai lemas dan sesekali masih terasa nyeri datang silih berganti. Sepertinya beberapa benda tumpul telah menghantam tubuhku. Dengan tetap di posisi meringkuk di atas lantai yang sangat lincin, aku berusaha menggerakan tubuh, pun berusaha membuka mata. Namun, saat akan beringsut, bau anyir tiba-tiba mulai menyeruak di kedua lubang hidungku. Ditambah beberapa suara terdengar lalu lalang tak jauh dariku. Apa yang telah mereka lakukan padaku! Rapalan demi rapalan hanya mampu terbenam di dalam benak.

Sungguh, sulit rasanya aku membuka mata, tak sanggup. Bahkan tubuhku terasa berat, seperti sesuatu yang besar sedang menindih. Apakah ini batu? Kursi? Permukaannya tidak rata dan bergelombang.

Tunggu, pasti mataku sedang dililit dengan seutas tali, pun dengan tubuhku yang tak luput dari ikatan kencang tali tambang. Lalu sesuatu yang besar terasa menindihi punggungku, mungkin. Posisi tubuhku saat ini menelungkup, mungkin mirip dengan kura-kura yang hendak berjalan. Sialnya lantai keramik yang dingin telah menembus tulang-tulang kecilku, membuat rasa nyeri semakin menjadi-jadi. Ugh!

“Jadi, ambil yang mana dulu? Sikat gadisnya atau ambil hartanya?

Kau lupa tujuan kita kemari, ha! Ilmu hitam ini tak akan berguna jika kita melupakan ritual inti!

Meski mereka saling berbisik, tapi aku paham betul ranah percakapan mereka. Sepertinya yang gerombolan ibu astral tadi katakan itu benar adanya. Wabah kolor ijo merebak lagi. Kali ini aku korbannya. Bodoh sekali aku tidak percaya pada beberapa tanda yang sudah ada. Aku malah mengundang mereka dengan menjemur pakaian dalam di luar. Argh! Ayah, Ibu, Kak Ibnu, tolong bantu aku! Jangan bunuh aku dengan cara seperti ini! Aku terus menggeram meski suara tak bisa lolos keluar, tercekat. Aku takut, sangat takut.

Aku hanya mampu bergumam lalu menangis tanpa mengeluarkan suara. Aku takut, sangat takut bahkan detak jantungku kian berguncang ingin lepas dari tempatnya.

Mereka, lelaki yang akan bertindak asusila, mengatasnamakan ilmu hitam lantas berbuat keji seenak jidatnya. Jika kalian membunuhku, akan kukutuk kalian dengan segala dendam yang membuncah di seluruh sendi tubuku. Tak akan kubiarkan kalian hidup bahagia sedetik pun!

Sisa tenaga kucoba kerahkan, bangkit sebisanya meski beberapa kali terseok dan tergelincir cairan licin berbau anyir. Persetan dengan obrolan mereka, aku akan meninggalkan rumah. Bila perlu membakar mereka hidup-hidup. Seingatku, posisiku terjatuh berada di dekat jendela yang tak jauh dari ruang makan dan ruang dapur. Aku harus sedikit berusaha lebih untuk menggeliat ke arah sana, lantas membuka tabung gas dan menarik pematik yang berada di laci lemari. Salah satu skenario yang mungkin bisa kulakukan dan berharap akan berhasil meski harta benda yang akan menjadi korbannya, meski aku juga di dalamnya.

Aku mulai untuk merayap layaknya ulat bulu. Lebih baik segera bergerak daripada tetap terdiam layaknya setor sebuah nyawa. Meski aku tak begitu berharga di keluarga ini, tapi masih banyak mimpi-mimpi yang harus aku tunaikan dan raih. Niatan ambisiku muncul kembali, memupuk keberanian yang tersisa tinggal ampasnya.

Mungkin baru sejengkal aku merayap, tiba-tiba sebuah benda besar menghantam kepalaku dengan kasar.

“Mau kemana Cantik! Kami belum selesai lho. Bahkan ritual belum mulai. Ah, pasti kau terlihat makin cantik kalau menggunakan jarik dan kemben ini.”

Orang sinting itu seenaknya bicara setelah sukses membuat kepalaku semakin terasa pening. Ada cairan hangat dan amis yang mendadak mengalir di pelipis. Lalu salah seorang dari mereka berusaha membuka tali pengikat yang melilit kepala serta tali yang menutupi mata.

Anehnya, bukan dua sosok menjijikkan yang kini menyambangi penglihatanku, justru ada sepasang kakek dan nenek dengan pakaian yang tak asing bagiku. Si kakek mengenakan surjan lengkap dengan blangkon dan tongkat sakti sedangkan si nenek mengenakan kebaya tutu lengkap dengan sirih inang yang masih menempel di bibirnya.

“Kamu nggak apa-apa, Nduk?” Begitulah si nenek berkata dengan bahasa Jawa halus yang aku terjemahkan di otak. Rasa pusing dan nyeri memang belum hilang sepenuhnya, tapi kini rasa penuh kebingungan mendera benakku. Banyak ilusi aneh yang tertampil di sembarang arah, membuat tubuhku seakan tak bisa diam dan terus berputar-putar, atau jangan-jangan yang berputar adalah buminya? Ah, yang jelas aku mulai berhalusinasi.

Namun, tunggu dulu. Sepasang suami istri renta ini tampak familiar di ingatanku. Pasti aku pernah melihat mereka di suatu tempat pada suatu waktu.

“Mereka adalah kawanan kolor ijo. Wabah meresahkan yang sangat mengganggu, terlebih bagi perempuan yang tinggal sendiri di dalam rumah.” Si kakek berceletuk sembari mengayunkan tongkat-tongkatnya ke sembarang arah. Tanpa kusadari, kakek itu menghalau kabut-kabut yang menyelimutiku sejak tadi dan kini sebuah ruang tengah terhampar luas di depan mata. Tampak tiang-tiang kayu nan kokoh dengan beragam ukuiran di sisinya. Lalu ada kursi jengki rotan berwarna cokelat tua lengkap dengan meja bulatnya. Di sebelahnya ada buffet dengan radio jaman dulu yang super besar dan hiasan sepeda jengki kecil di sebelahnya. Oh, dimana aku ini! Jaman dulu sekali rasanya, padahal sebelumnya aku masih berada di rumah.

“Tak perlu risau, Nduk. Masa’ kamu lupa dimana dirimu berada?” Nenek lekas menarikku bangkit dan mendudukan aku di dipan kayu jati yang sangat lebar, mungkin cukup dipakai untuk tidur dua atau tiga orang.

Lantas ia merawat luka-lukaku dengan lembut tanpa menggunakan suatu benda apa pun. Tanpa menggunakan perban, kain kasa, betadine, atau revanol semacamnya. Sama sekali tidak. Ia hanya terus menerus meniupi bagian tubuhku yang luka. Padahal aku paham betul kalau metode itu hanya manjur untuk anak kecil. Aku ‘kan sudah dewasa.

Tunggu! Jangan-jangan mereka–!

***

-bersambung.


Part kelima bisa klik di sini :D

Part keenam bisa kik di sini :D

Part ketujuh / end bisa klik di sini :D

Semoga tidak jemu mengikuti ceritanya ya :D


#ChallengeKomunitasODOP #OneDayOnePost


Note : Terima kasih telah menyempatkan membaca hingga akhir. Silakan jika ingin membagi isinya dan mohon disertakan sumbernya.
Sajian Kira
Ashry Kartika | Penulis Lepas di beragam proyek

Related Posts

Post a Comment