Malam-Malam Kelam (III)

Post a Comment
Malam-Malam-Kelam



Selamat membaca Sobat Sajian Kira :D

***
Kilat dan petir belum datang berkunjung, mungkin saja ini hanya mendung tanpa runtukan air hujan. Kini rumahku layaknya remang-remang sebuah sarang, hanya kegelapan yang terus menerjang. Kupikir, ini  bukanlah kejadian alam biasa.

Aku memilih mengacuhkan notifikasi pada layar laptop dan bergegas menyalakan ikon lampu senter di layar ponsel. Tiba-tiba saja ada suara gaduh dari lantai satu. Tanganku gemetar dan mungkin saja wajah bulatku pucat pasi. Kuatur napas agar menurunkan irama detak jantung yang meloncat-loncat. Dengan menggenapkan keberanian yang berserak, aku bergegas untuk meluncur ke sumber suara. 

Baru beberapa anak tangga kulalui, jantung nyaris mencelus. Oh, sial! Lantai satu benar-benar gelap sekarang. Suara riuh injakan kaki itu, terdengar beradu dengan sesuatu yang ringan. Meski begitu, tetap saja membuatku kian terperanjat. 

Masih di posisi anak tangga bagian tengah, aku sedikit terduduk di ujungnya, mengatur sengal napas yang terus memburu. Tiba-tiba saja lampu senter di ponselku mati dan tak bisa nyala lagi, kehabisan daya. Mulutku siap mengumpat kebodohan yang terjadi dengan bertubi-tubi. Bodoh sekali aku!

Tidak, aku tidak boleh membunuh kewarasanku dengan ketakutan ini. Semua baik-baik saja. Aman-aman saja, gumamku. Lalu anak tangga demi anak tangga berhasil kulalui dengan langkah mengendap. Sesekali aku menoleh ke atas, ke arah pintu kamar Kak Ibnu yang bergeming. Ingin sekali rasanya di saat-saat seperti ini kehadirannya cukup membantu. Jangan hanya datang dan pergi seenaknya sendiri. Huh!

Aku menelisik dari kolong-kolong perabot, tak ada satupun yang mencurigakan. Sedikit ayem. Fiuh, aku sedikit menghela napas panjang. Namun, satu hal besar kembali menerjang batinku. Ruang tengah yang luas dan tersambung dengan ruang makan, kini tampak seperti medan perang perjuangan. Ruangan seluas entah berapa petak ini, membuat nyaliku kembali ciut. Ditambah suara gemeretak langkah kaki yang kembali mencekam keadaan.

Dapat kurasakan napas beratku semakin menjadi, peluhku bahkan mulai membasahi. Ah, suasana yang menyebalkan! Kepanikan membuatku otak warasku berhenti berpikir! Beberapa kali aku mengetuk tengkorak kepala kopong ini, berharap ada sebuah ide brilian atau setidaknya ide yang mudah kulakukan sebagai solusi. Aku tak ingin terpenjara pada keadaan seperti ini.

Mataku berpendar, mencari suatu hal yang mungkin bisa cukup membantu. Warna saklar yang terang di seberang dinding, mulai menarik perhatianku. Tenang-tenang, aku hanya perlu menyalakan lampu dengan menekan saklar di seberang ‘kan? Akhirnya aku memutuskan untuk segera melintasi daerah itu dan dalam sekejap, jemariku itu telah menempel di saklar bagian tombol tengah.

Eh, lho! Ada yang salah dengan saklarnya, kenapa lampu tidak menyala! Ah, bodoh aku ini! Otakku benar-benar kacau. Mati lampu sedari tadi benar-benari membuat pelik segala keadaan har ini. Jantungku kali ini bergemuruh, darahku rasanya ingin naik terus hingga ke puncak kepala bahkan keluar kalau bisa. 

Tubuhku mulai terasa lunglai sambil merutuki kejadian hari ini. Apa akan muncul badai? Atau angin puting beliung yang sedang menerjang daerah lain lalu imbasnya memadamkan semua aliran listrik? Aku kembali menerka-nerka kejadian hari ini, lalu menelisik pada jendela yang terbuka. Lho! Aku yakin sekali semua jendela sudah tertutup. Bahkan semua pintu sudah aku kunci.

Aku menghampiri satu-satunya jendela yang terbuka, seruak angin dingin langsung menerpa wajahku dengan kasar. Tiba-tiba saja tengkukku terasa panas, bulu kudukku berdiri, dan bahkan aku tak berani menoleh. Lalu mataku pun nyaris lepas dari lubangnya, melihat beberapa bercak lumpur yang mulai mengering di pinggiran kayu jendela. Tak habis di situ saja, rasanya kewarasanku hampir luntur sepenuhnya, melihat beberapa pakaian dalam tampak terkoyak dan sudah tak berwujud layak. Ada apa ini!

Tubuhku seperti terbius dengan efek samping seluruh otot yang terasa menegang. Layaknya semua bagian tubuh yang sedang dikendailkan, tanpa aba-aba dari otak warasku, lantas aku menoleh ke arah belakang. Mataku meruntuti tiap bekas jejak lumpur yang menyerupai gambar kaki. Saat aku menelisik keadaan dalam gelap, tampak dua pasang bola mata menatapku dari kejauhan. Dari bawah anak tangga, padahal aku baru saja dari sana!

“Arrgh! Siapa kalian! Mau apa kalian! Pergi!” Daripada heran suaraku yang keluar dengan lantang, aku sendiri jauh lebih terkejut atas keberanian yang tiba-tiba saja tumbuh.

Anehnya mereka justru saling tatap dan berlari cepat ke arahku. Sialnya, aku yang terkejut justru terpelanting menabrak dinding. Lambat laun kesadaranku hilang. Namun, satu hal yang saat itu baru aku sadari. Layar laptopku tadi telah memberikan notifikasi bahwa kamera pengintai mengalami putus koneksi, tanpa diketahui penyebabnya dan tepat sesaat sebelum layar pemindai dari kamera pengintai itu mati, dua sosok tadi sudah melambaikan tangan ke kamera, memberi aba-aba tapi aku yang tak peka.

Tampaknya mereka sedang berdiri di depanku yang tergeletak dengan kesadaran yang mulai menurun. Bahkan bau tubuh mereka yang anyir dan menyengat itu membuatku ingin mati saja.

“Tolong jangan lakukan hal aneh padaku. Jika kalian mau uang, harta, atau mengambil perabotan di sini, ambil saja. Aku tak akan–.” 

Gelap. Benar-benar gelap. Aku pingsan atau aku mati. Tuhan, tolong!

*** 
-bersambung.


Semoga tidak kapok membaca kisahnya, ehe.

#ChallengeKomunitasODOP #OneDayOnePost


Note : Terima kasih telah menyempatkan membaca hingga akhir. Silakan jika ingin membagi isinya dan mohon disertakan sumbernya.
Sajian Kira
Ashry Kartika | Penulis Lepas di beragam proyek

Related Posts

Post a Comment